KEGAGALAN KONSTRUKSI PADA STRUKTUR BETON
A. Pengertian Kegagalan Konstruksi Menurut UU No.18/1999 tentang Jasa Konstruksi, Pasal 1: Kegagalan bangunan adalah keadaan bangunan, yang setelah diserah terimakan oleh penyedia jasa kepada pengguna jasa, menjadi tidak berfungsi baik sebagian atau secara keseluruhan dan/atau tidak sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam kontrak kerja konstruksi atau pemanfaatannya yang menyimpang sebagai akibat kesalahan penyedia jasa dan/atau pengguna jasa;. Kegagalan bangunan dan kegagalan konstruksi dapat disebabkan oleh faktor teknis maupun faktor non teknis. Faktor teknis terjadi karena adanya penyimpangan proses pelaksanaan yang tidak memenuhi spesifikasi teknis yang disepakati dalam kontrak, sedangkan faktor non teknis lebih disebabkan karena proses pra kontrak (Bidding) maupun tidak kompetenya Badan Usaha, tenaga kerja, tidak profesionalnya tata kelola manajerial antara pihak-pihak yang terlibat dalam proyek konstruksi serta lemahnya pengawasan/supervisi. Menurut Ir. Mardiana Daoed-perencana struktur senior dari PT. Ingenium Consultants, konstruksi bangunan gedung yang baik harus memenuhi 3 kriteria : kuat, kaku, dan stabil. Oleh karenanya, suatu bangunan gedung dikatakan cacat atau mengalami kegagalan konstruksi, bila unsur-unsur struktur tidak memenuhi salah satu atau keseluruhan kriteria di atas. Kegagalan bangunan ataupun konstruksi tersebut terjadi di setiap pekerjaan konstruksi. Oleh karena itu diperlukan perhatian pada kasus ini, dikarenakan bangunan yang dibangun digunakan oleh umat manusia yang tentunya akan berbahaya bila terjadi kerusakan.
B. Penyebab Kegagalan Konstruksi Untuk mendapatkan faktor penyebab kegagalan konstruksi tidaklah mudah. Seringkali sumber dari kegagalan itu sendiri merupakan akumulasi dari berbagai faktor. Oyfer (2002) menyatakan construction defects di Amerika disebabkan oleh faktor manusia (54%), desain (17%), perawatan (15%), material (12%), dan hal tak terduga (2%). Vickynason (2003) menyatakan bahwa 80% dari total projects risk in construction dimungkinkan penyebabnya faktor manusia. Sementara itu, Carper (1989) menyatakan bahwa penyebab potensial untuk kegagalan
konstruksi secara umum disebabkan oleh : site selection and site developments errors, programing deficiencies, construction errors, material deficiencies and operational errors. Faktor-faktor penyebab kegagalan konstruksi sangat beraneka ragam, baik yang berasal dari luar (eksternal) maupun yang berasal dari dalam (internal). Adapun beberapa faktor yang secara garis besar berpengaruh dan menjadi parameter terhadap kegagalan konstruksi, antara lain akan dijelaskan sebagai berikut:
1. Kesalahan Dalam Perencanaan Kesalahan perencanaan merupakan faktor yang sangat penting dan vital dimana sangat berpengaruh terhadap desain dari perencaan yang akan dilaksanakan dilapangan, jika dalam aspek perencanaan pihak konsultan salah memperhitungkan atau menganalisis maka konsekuensi dan dampak yang dapat ditimbulkan ke depan akan sangat signifikan berpengaruh terhadap kegagalan fisik bangunan. Perencanaan dalam hal ini dapat berupa perencanaan desain fisik/ukuran, perencanaan anggaran, perencanaan mutu, perencanaan waktu pelaksanaan, perencanaan kelayakan, perencanaan manfaat/benefit, perencanaan fungsi dan perencanaan yang mendukung terhadap produk konstruksi yang akan dihasilkan.
2. Kesalahan Dalam Pelaksanaan Kesalahan pelaksanaan merupakan tindak lanjut dari proses perencanaan kontruksi, dimana dalam tahap pelaksanaan juga memegang peranan penting terhadap kegagalan kontruksi yang tentunya lebih berorientasi kepada pihak pelaksana proyek/kontraktor. Dalam tahap pelaksanaan faktor-faktor tersebut antara lain dapat dari segi metode pelaksanaan yang salah, kualitas material yang tidak sesuai spesifikasi dalam kontrak dan perencanaan, penggunaan tenaga kerja yang tidak ahli/berpengalaman, penggunaan peralatan yang tidak efektif, kurangnya pengawasan dan manajemen proyek yang buruk. Tentunya jika aspek tersebut dapat lebih diperhatikan maka tingkat risiko kegagalan konstruksi dari aspek pelaksanaan dapat direduksi.
3. Kesalahan Operasional Dalam hal ini lebih berorientasi kepada pihak pemilik proyek konstruksi dalam tahap penggunaan dan operasional dari produk konstruksi tersebut, dimana jika pihak pemilik melakukan kesalahan dalam hal merubah dari fungsi awalnya maka dapat berpotensi menimbulkan terjadinya kegagalan konstruksi, misalnya bangunan yang awalnya diperuntukkan untuk gedung perkantoran diubah fungsi menjadi gudang atau menambah jumlah tingkat bangunan yang dari perencanaan awalnya hanya diperuntukkan untuk satu lantai atau pembangunan gedung yang setelah terealisasi tidak digunakan sama sekali/ganggur, serta perubahan-perubahan fungsi lainnya yang menyimpang dari fungsi rencana awalnya juga berpotensi terhadap terjadinya kegagalan bangunan baik bersifat fisik maupun nonfisik.
4. Maintanance (Perawatan) Perawatan bangunan juga berperan penting terhadap kelangsungan umur dan kualitas produk konstruksi, tentunya dalam hal ini diperluhkan sistem manajemen perawatan bangunan. Jika tingkat frekuensi perawatan tidak dilakukan secara rutin dan berkala maka dapat juga berpotensi terhadap meningkatnya risiko kegagalan bangunan. Inspeksi perawatan bangunan berfungsi untuk mendeteksi secara dini kerusakan dari fisik bangunan/infrastruktur sehingga langkah repair/perbaikan dapat dilakukan sejak dini sehingga menghindari tingkat kerusakan yang lebih buruk serta pembengkakan biaya.
5. Usia/Umur Bangunan Umur bangunan juga berperan dan berpengaruh terhadap kegagalan konstruksi bangunan dimana jika umur suatu produk bangunan melampaui dari umur yang direncanakan maka dapat berpotensi menyebabkan kegagalan bangunan, hal ini diakibatkan karena tingkat kekuatan bangunan mengalami penurunan selama umurnya serta kelelahan/fatique yang terusmenerus selama umur bangunan tersebut.
6. Manfaat dan Dampak Manfaat dalam hal ini lebih ke dampak terhadap produk konstruksi yang telah dibuat/terealisasi dan dioperasikan. Kegagalan konstruksi juga bukan hanya masalah kegagalan fisik semata melainkan dapat dilihat dari aspek manfaatnya setelah beroperasi. Kadang banyak hasil produk konstruksi berupa bangunan yang setelah selesai dibuat sesuai dengan sesifikasi
perencanaan dan dioperasikan sesuai dengan fungsinya, tetapi dari aspek manfaat justru memberikan dampak yang buruk terhadap masyarakat dan lingkungan disekitarnya. Misalnya pencemaran lingkungan, rusaknya vegetasi disekitarnya, terjadinya kesenjangan sosial dsb.
7. Disaster/Bencana Faktor ini merupakan faktor diluar dugaan dan kemampuan manusia yang sulit untuk diprediksi secara tepat, faktor bencana merupakan faktor yang sangat fatal terhadap kegagalan konstruksi. Bencana dalam hal ini dapat berupa bencana alam maupun akibat faktor internal/kelalaian manusia seperti bencana gempa/earth Quake, flood/banjir, Tsunami, tanah longsor/land slide, Topan, kebakaran, ledakan, Amblas, dsb. Oleh karena itu untuk mengurangi tingkat risiko akibat faktor ini maka banyak pihak pemilik produk konstruksi mengalihkan risiko tersebut ke pihak ke-3 seperti asuransi.
C. Macam Kerusakan Pada Beton 1. Keretakan pada beton a. Teori Retak Retak dapat secara luas diklasifikasikan sebagai retak struktural maupun non struktural. Retak struktural dapat terjadi karena adanya kesalahan desain atau juga bisa terjadi karena beban yang melebihi kapasitas sehingga dapat membahayakan bangunan. Retak yang ekstensif/menyebar dari balok beton bertulang adalah salah satu contoh retak struktural. Retak non struktural sebagian besar terjadi karena adanya tegangan yang diinduksi secara internal dalam material bangunan dan umumnya hal ini tidak langsung mengakibatkan melemahnya struktur. b. Lebar Retak Menurut Ghafur (2009), retak dapat dikenali dengan tiga parameter yaitu lebarnya, panjangnya dan pola umumnya, lebar retak ini sulit diukur karena bentuknya yang tidak teratur (irregular shape). Pada fase pengerasan beton terdapat retak mikro, retak ini sulit dideteksi karena terlalu kecil. Untuk melihat lebar retak mikro biasanya dipergunakan Crack Microscope yang lebarnya bervariasi antara 0,125 1,0 μm (8 jam pertama setelah pencetakan). Lebar retak minimum yang dapat dilihat oleh mata sebesar 0,13 mm (0,005 in), dikenal dengan retak mikro. Retak mikro apabila dibebani akan menjadi retak mayor atau retak yang lebih besar. Lebar retak maksimum yang diijinkan dapat dilihat pada Tabel 1 berikut : Tabel 1. Lebar Retak Maksimum yang Diizinkan Sumber: ACI Committee 224R (2001)
2. Jenis-Jenis Retak
a. Retak Plastis Akibat Penyusutan Retak ini terjadi dalam waktu 1 sampai 8 jam setelah penempatan campuran beton, ketika beton dengan sangat cepat mengalami kehilangan air yang disebabkan beberapa faktor meliputi udara, suhu beton, kelembapan, dan kecepatan angin di permukaan beton. Ketika air menguap dari permukaan beton yang baru saja ditempatkan lebih cepat daripada bleed water, permukaan beton akan menyusut. Beton yang tidak mengalami bleeding akan menyusut karena tahanan yang diberikan oleh beton dibawah lapisan permukaan yang mengering. Tegangan tegangan tarik berkembang di beton yang lemah mengakibatkan terjadinya retakretak dangkal dengan berbagai kedalaman yang dapat membentuk retak yang acak, bentuk polygon (RDSO, 2004)
b. Retak Plastis Akibat Penurunan Setelah pengecoran, penggetaran, dan sampai beton selesai dicor, beton yang memiliki kecenderungan untuk terus mampat. Selama periode ini, beton plastis mungkin ditahan oleh tulangan, beton keras yang ditempatkan lebih dahulu, atau bekisting.
Perletakan setempat ini dapat menyebabkan rongga di bawah tulangan dan retak di atas tulangan. Ketika berhubungan dengan tulangan, retak plastis akibat penurunan meningkat seiring dengan meningkatnya diameter tulangan, meningkatnya nilai slump, dan berkurangnya selimut beton (Dakhil, et al., 1975).
c. Drying Shrinkage Cracking Susut akibat pengeringan disebabkan dari kehilangan kadar air dari campuran semen, yang dapat menyusut hingga 1%. Untungnya, partikel agregat memberikan tahanan internal yang mereduksi besarnya perubahan volume sekitar 0.06%. Pada sisi lain, beton cenderung mengembang ketika dibasahi (peningkatan volume bisa sebanding dengan besarnya penyusutan beton). Perubahan volume akibat perubahan kadar air ini adalah karakteristik dari beton. Kalau susut pada beton dapat terjadi tanpa batasan, beton tidak akan retak. Akibat kombinasi dari susut dan batasan (diberikan oleh bagian lain dari struktur, dari tanah dasar, atau dari kelembapan interior beton itu sendiri) yang menyebabkan berkembangnya tegangan-tegangan tarik. Ketika batasan tegangan tarik dari material sudah dilewati, beton akan retak.
d. Concrete Crazing Crazing adalah pengembangan jaringan retak acak halus atau celah pada permukaan beton yang disebabkan oleh penyusutan lapisan permukaan. Retak ini jarang lebih dalam dari 3mm, dan lebih terlihat pada permukaan yang tergenang secara berlebihan. Umumnya, retak craze berkembang pada usia dini dan terlihat jelas sehari setelah penempatan atau setidaknya pada akhir hari pertama. Seringkali mereka tidak mudah terlihat sampai permukaan telah dibasahi dan mulai kering. Mereka tidak mempengaruhi integritas struktural beton dan jarang mereka mempengaruhi daya tahan. Namun permukaan craze tak sedap di pandang (RDSO, 2004).
e. Thermal Cracking Perbedaan suhu dalam struktur beton dapat disebabkan oleh bagian dari struktur kehilangan panas hidrasi pada tingkat yang berbeda, kondisi cuaca yang dingin, panas dari suatu bagian struktur yang berubah. Perbedaan suhu ini menghasilkan perubahan volume yang berbeda-beda, yang menyebabkan retak. Perubahan suhu mungkin disebabkan oleh salah satu pusat beton lebih panas dari bagian luar karena pembebasan panas selama hidrasi semen atau pendinginan yang lebih cepat yang relatif antara eksterior ke interior. Kedua kasus mengakibatkan tegangan tarik pada eksterior dan, jika kekuatan tarik terlampaui, retak akan terjadi.
f. Cracking due to Chemical Reaction Reaksi kimia yang merusak dapat menyebabkan retak pada beton. Reaksi ini mungkin terjadi karena bahan yang digunakan untuk membuat beton atau material lain yang bertemu dengan beton setelah beton kering. Beton dapat pecah seiring dengan waktu akibat reaksi ekspansif yang berkembang secara perlahan antara agregat yang mengandung silika aktif dan basa yang berasal dari hidrasi semen, admixture atau sumber eksternal (misalnya air curing, air tanah, dan alkaline yang ditaruh atau digunakan pada pada permukaan beton yang sudah kering).
g. Teori Voids dan Honeycomb Lubang-lubang yang relatif dalam dan lebar pada beton, dikenal dengan sebutan voids atau honeycomb (Isnaeni, 2009). Voids terbentuk ketika beton gagal untuk mengisi daerah-daerah dalam bekisting, biasanya voids terjadi karena adanya beton yang tertahan diakibatkan penempatan beton yang terlalu dalam, atau di daerah yang jarak tulangannya terlalu dekat. Honeycomb terbentuk ketika mortar gagal untuk mengisi rongga antara partikel kasar agregat. Penyebab honeycomb dan voids antara lain slump beton yang terlalu rendah, segregasi, jarak antar tulangan yang terlalu dekat, pelaksanaan pemadatan yang kurang baik, dan pelaksanaan penuangan yang tidak tepat. Hampir semua kerusakan kerusakan voids mengakibatkan kerusakan struktural sedangkan kerusakan honeycomb bisa
kerusakan struktural cmaupun non struktural tergantung lokasi dan luasnya honeycomb (Concrete Construction, 2000).
3. Faktor -Faktor Penyebab Keretakan Beton Yang Terjadi Saat Pembuatan Beton Bertulang
a. Sifat Beton Untuk melihat bagaimana sifat dari beton bertulang yang dapat menimbulkan keretakan kita harus melihat proses dari awal pembuatan beton bertulang tersebut. Pada saat awal pembuatan beton bertulang dengan pencampuran bahan penyusunnya seperti kerikil, pasir, air, semen, dan baja tulangan. Dalam proses pengerasannya beton akan mengalami pengurangan volume dari volume awal. Umumnya hal ini disebabkan air yang terkandung pada campuran beton akan mengalami penguapan sebagian yang mengurangi volume beton bertulang tersebut. Sehingga apabila dikondisikan pada saat beton mengalami pengerasan dan akibat dari volume beton berkurang yang akan menyebabkan penyusutan pada beton tetapi beton tersebut dibiarkan untuk menyusut tanpa adanya pembebanan maka beton pun tidak akan mengalami keretakan. Tetapi pada kondisi sebenarnya dilapangan tidak ada beton yang tidak mengalami pembebanan. Karena tidak ada balok atau kolom pada bangunan yang berdiri sendiri melainkan akan bersambung satu sama lain dan hal ini akan membuat beton bertulang bekerja menahan bebanbeban pada bangunan.sehingga apabila pada kondisi saat beton mengalami penyusutan volume kemudian terjadi pembebanan, maka retakan pun tidak dapat dihindari.